Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2020

In The Blood (2016)

Yang satu ini memang benar-benar drama banget . Kebangetan dramanya. Konflik utama dalam film ini sangat kalem sekali. Tidak meledak-ledak. Dan, bagi Movielitas, drama film ini terasa datar hambar saja. Sebenarnya film ini menceritakan realita. Movielitas pernah berada di posisi Simon, sang karakter utama dalam film garapan sutradara Rasmus Heisterberg ini. Menceritakan seorang Simon sebagai mahasiswa kedokteran. Memiliki serta hidup di sebuah apartemen bersama ketiga kawannya. Mabuk, merokok, mencuri, dan bercinta seks menjadi gaya hidup.   Dan, pada satu titik ada batas khilaf. Overall, drama remaja yang bisa jadi kaca refleksi bagi yang pernah “nakal” seperti karakter utama di dalamnya. Secara drama, bukan selera Movielitas. In The Blood (2016) - 5/10

Battle Of The Year for Beat boys

Sebuah film dokumenter seputar bagian dari budaya hip-hop yaitu breakdance . Sebelum era tari modern saat ini, pernah ada fenomena yang “mewabah” hampir ke seluruh dunia yaitu breakdance. Menurut Movielitas, breakdance sendiri adalah sebuah seni tari era 90an dengan pasangan beat / irama musik disco/hip hop di era itu. Ambil contoh beat dari lagu milik grup Snap! dengan The Power , atau juga CC Music Factory dengan hits Everybody Dance Now , atau juga gaya beat rap milik 2LiveCrew juga Run DMC . Dimana breakdance ini memerlukan factor kelenturan, kecepatan, kekuatan otot kepala-lengan-perut, dan keseimbangan. Film dokumenter ini mengangkat kisah seputar turnamen breakdance   disebut Battle Of The Year di tahun 2005. Dimana turnamen BOTY saat itu menyaring grup breakdance dari beberapa negara dari benua Asia, Eropa, hingga Amerika untuk kemudian dipertemukan di arena breakdance internasional di Jerman.   Fokus cerita secara bergantian ada pada sudut pandang sisi penggiat breakdanc

Saat perut bumi merespon ambisi ekonomi

Kadang bagi Movielitas sulit menggambarkan kategori sebuah film disebut “menarik” atau bagus. Biasanya mengandalkan indera perasaan. Ciri mudah sebuah film disebut menarik atau bagus atau layak ditonton bagi Movielitas adalah mampu menarik perhatian secara utuh menikmati serta menghayati juga mengerti memahami plot serta alur jalan cerita. Apalagi sekarang di era gawai, dimana seringkali perhatian fokus menonton film akan mudah sekali terdistraksi oleh handphone. Ini adalah kali ketiga Movielitas menikmati suguhan bagus dari duet sutradara Peter Berg dan aktor Mark Whalberg. Sekali lagi harus diakui, keren. Bagus. Dan, ketiga nya film duet Peter Berg-Mark Whalberg yang pernah Movielitas tonton semuanya bagus. Semuanya menjadi favorit Movielitas. Dan, hebatnya lagi, ke-semuanya dari ketiga film itu based on true event . Setelah konflik perang , lalu tragedi   bom di tengah acara kota , kali ini film Peter – Mark berkisah tentang sebuah tragedi kebocoran minyak yang diklaim sebagai ke

Ketika hari tidak mau berganti

Masuk sedikit demi sedikit menikmati alur cerita, film ini langsung mengingatkan Movielitas pada gaya cerita film Premonition nya Sandra Bullock, atau Triangle , atau juga bisa pada konflik di film Final Destination . Film ini berporos pada konflik yang dialami karakter Samantha Kingston mengalami deja-vu berulang-ulang. Samantha “harus terpaksa” menjalani 12 Februari secara berulang-ulang. Film ini bisa jadi seolah mengajak penonton nya untuk merenung atau ikut merasakan bagaimana bila mengalami hal yang sama dengan tokoh utama dalam film garapan sutradara Ry Russo-Young ini. Pasti akan pusing dan stres juga ketika bangun di pagi hari masih tetap tak beranjak "dewasa". Kejadian di hari itu akan terus sama, kita harus melalui kejadian-kejadian di satu hari, hari demi hari. Di satu sisi akan mengasyikan tapi di sisi lain akan jatuh pada emosional. Seolah-olah kita masuk ke dunia teka-teki dan harus mencari tahu sendiri apa penyebab hari tidak mau berganti. Yang membedak

Masih harus kembali ke sekolah

Film ini (masih) termasuk jenis film sekuel yang   “belum” bisa menandingi kesuksesan seri pertama-nya . Menurut Movielitas, kualitas cerita maupun konflik di seri pertama, jauh lebih baik dan bisa dinikmati. Sedangkan disini, jualannya sudah dapat dipastikan hanya kekonyolan semata. Soal plot, alur cerita dan konflik sudah dibuang jauh. Di sekuel ini terasa sekali hanya sekedar menjual dan berporos pada jenis komedi Stephen Chow saja. Tidak ada lain. Satu-dua jokes khas Chow disini , masih bisa mengundang senyum tawa untuk sekedar melepas stress.  Overall, cerita film komedi klasik ini jauh dari “serius” dan just full of jokes . Dibandingkan dengan seri perdana-nya, kalah jauh. Fight Back To School 2 (1992) - 5/10

Lagu rindu mengalun cemburu di antara tetangga baru dan sang pemburu

Apa yang menarik dari film Disturbia ? Movielitas akan menjawab karena film-nya memang menarik. Racikan nya pas. Dibintangi aktor Shia Labeouf yang fisik dan aktingnya bisa masuk ke situasi konyol   komedi romantic sekaligus masuk ke situasi drama kriminal. Duet dengan Sarah Roemer yang mengisi bagian karakter “hot sexy” nya. Ditambah dengan plot cerita, alur serta konflik yang berurutan tertata baik. Dari konflik menjadi rumah tahanan, jatuh hati kepada tetangga yang harus diakui sangat seksi sekali, lalu harus menyadari bahwa ada ancaman bahaya di dekat rumah tinggal. Ada lagi, dan ini yang mungkin juga paling berkesan bagi Movielitas hingga saat ini. Yaitu soundtrack . Dari jajaran lagu soundtrack dalam film besutan sutradara D.J. Caruso ini, satu lagu yang paling “menancap” di syaraf otak Movielitas adalah lagu Lovin’ You dari Minnie Riperton .  Sebenarnya lagu Lovin’ You sendiri merupakan single lawas sekali. Diproduksi tahun 1974. Tapi memang, Movielitas pertama kali men

Rekaman medan perang menjadi tiket sepanggung dengan Destiny Child

Kesan pertama kali melihat poster film nya, memunculkan ekspektasi akan suguhan perang minimal drama perang di film besutan sutradara Ang Lee ini. Tapi, ternyata meleset. Meleset jauh. Pertanda ekspektasi meleset diawali dengan kemunculan aktor Chris Tucker yang Movielitas kenal dari aksi laganya bersama Jackie Chan . Padahal, peran Chris disini pun sudah dibuat sangat serius, namun tetap saja berhasil merubah atmosfir film terasa seperti film drama komedi. Dan, faktor yang menghapus kesan drama perang serius ini adalah kemunculan Steve Martin, yang sering muncul di film-film komedi keluarga. Menurut Movielitas, pemilihan Chris Tucker dan Steve Martin di genre film ini terasa kurang tepat. Movielitas menilai plot cerita dengan inovasi konflik di dalamnya, kurang begitu menarik. Adegan demi adegan terasa kaku. Sangat kaku. Dan, yang paling mengganggu bagi Movielitas adalah pengambilan gambar full face close-up . Pemilihan aktor-aktor muda untuk karakter “militer” juga kurang begitu

The Spell

Pertama kali masuk ke awal cerita, Movielitas teringat gaya film Disturbia . Dan, ternyata memang diakui dalam salah satu adegan dialog di dalam cerita. Seorang remaja, Daniel, menjadi tahanan rumah. Pasal yang dituduhkan adalah karena kasus hacking yang dilakukan Daniel kepada akun sosial media milik Mona Wilson. Sayangnya, tak berapa lama, Mona Wilson diketahui bunuh diri. Konflik film ini langsung berubah menjadi horror. Tapi, karakter Mona Wilson kurang terasa bisa berbaur dengan cerita, dikarenakan dari awal memang samar-samar, tiba-tiba bunuh diri. Horor yang disuguhkan rasanya biasa saja. Standard . Gaya kamera pengambilan sudut adegan cukup modern dan rapi. Sayangnya, kurang didukung dengan kualitas konflik dan horor yang mumpuni. Juga film ini menyelipkan plot twist sebanyak dua kali. Tapi tetap saja, versi Movielitas, masih terasa datar hambar. Kurang maksimal dalam kualitas konflik horor. Overall, dibandingkan dengan Disturbia, too far . So far .  Dark Summer (2015) - 5