Skip to main content

Malaikat yang terpidana mati

Sebuah film klasik yang diproduksi tahun 1999. Kala itu Movielitas masih jaman bersekolah. Dan, tidak berkesempatan menonton hanya tahu judul film ini dari koran saat itu. Seingat Movielitas film ini diberitakan positif dan banyak yang bilang bagus. Bahkan sampai dewasa, Movielitas tahu judul filmnya namun tidak pernah berkesempatan menonton karena tidak berhasil mendapat film ini. Hingga Movielitas tahu di salah satu penyedia layanan streaming "plat merah" masih menyediakan film ini. Dan, akhirnya Movielitas berhasil menyimak film yang digarap oleh sutradara Frank Darabont hingga selesai.

Ada beberapa hal yang membuat sedikit terkejut, bagi Movielitas yang terlambat menonton, dari melihat catatan di balik film ini. Pertama, film ini ternyata diangkat dari novel maestro Stephen King yang Movielitas justru mengenal sebagai penulis novel genre horor. Kedua, tentang durasi yang ternyata memakan waktu tiga jam lebih. Ketiga, Movielitas salah menduga bahwasanya film ini "terlihat" seperti film dunia militer, ternyata bukan sama sekali. Keempat, sebuah karya film yang luar biasa. Keren. Dan bagi Movielitas, sebuah karya film yang bagus (kapanpun dibuatnya) akan tetap bagus untuk ditonton kapanpun juga. Seperti film ini, meskipun diproduksi tahun era 1990an ternyata masih terasa bernyawa di tonton setelah puluhan tahun sejak dirilis ke pasaran.

Berkisah tentang sebuah pengalaman supranatural dari seorang supervisor (sebut saja kepala sipir) di penjara yang dijuluki Green Mile yaitu Paul Edgecomb. Di antara lika-liku konflik yang muncul di penjara tersebut, Paul mengenal seorang terpidana mati bernama John Coffey. Dari sosok John Coffey inilah Paul mengalami pengalaman unik serta dilema besar di dalam hidupnya. Bahwa apa yang terlihat secara fisik belum tentu menggambarkan watak seseorang.

Meskipun diangkat dari novel Stephen King, plot cerita film ini tidak ada aroma horor sama sekali, kecuali aroma supranatural atau mistis masih ada kalau bisa disebut demikian. Sangat "ramah" sekali, bila boleh membandingkan dengan film ala Stephen King yang umum, film ini justru cocok dimasukkan ke genre aliran Disney.Karena ada unsur membawa nuansa miracle.

Alur cerita dari film ini bisa dikatakan lumayan bagus. Mengalir cepat tapi tidak membingungkan. Konflik yang dimunculkan memang bercabang-cabang, ada konflik antara napi dan sipir, sipir dengan sesama sipir, dan konflik internal sang sipir penjara. Saling terkait antara konflik satu dengan lainnya, dan hebatnya bagi Movielitas adalah jalan cerita bisa dicerna tanpa harus dibuat bingung.

Kualitas akting para pendukung tidak perlu diragukan. Tom Hanks memang cocok dengan genre drama seperti ini. David Morse, keren. Sebagai karakter "antagonis" ada Sam Rockwell dan Doug Hutchison dan keduanya bermain sangat kuat dan apik di karakternya masing-masing. Michael Clarke Duncan sebagai John Coffey, sangat cocok sekali. 

Gabungan dari plot cerita dengan alur jalan cerita yang bagus dengan dukungan kualitas akting berkelas membuat film ini tidak membosankan meski memakan waktu tiga jam lebih. Pada akhirnya film ini memiliki senjata pamungkas di area dilematis yang ditularkan ke penonton. Pesan moral dari film ini menurut Movielitas sudah sangat umum yaitu dont judge a book by its cover. Tapi, seiring tumbuhnya jaman dan teknologi, memang agak sulit menerapkan pesan moral film ini. 

Overall, film yang sangat luar biasa. Two thumbs up. Movielitas lupa film klasik apa saja, tapi yang pasti ada film klasik di era pra-internet jika ditonton ulang di jaman sekarang terasa "kaku". Baik dari alur cerita, teknologi, pengambilan gambar, atau juga segi konflik cerita. Ajaibnya, mungkin karena film ini mengususng hal ajaib, tidak berlaku. Meskipun mungkin era tahun 1999 internet belum se-massive saat ini, menonton film ini di era Netflix, masih tetap terasa bernyawa. Tidak ada cerita teknologi komputer, pengambilan gambar juga sudah modern. Terlepas dari adegan sang tikus Mr.Jingles, apakah itu dibuat dengan teknologi atau memang tikus sirkus, cukup bagus bagi Movielitas. Recommended.

The Green Mile (1999) - 8/10

Comments

Popular posts from this blog

Dibalik obat Ridocaine

Sajian kali ini berkisah tentang seorang ibu yang hidup dengan anak perempuannya. Sang anak menderita sebuah penyakit kelumpuhan dan harus hidup di atas kursi roda. Konflik terjadi karena pola pendidikan sang ibu yang terlalu "sayang" kepada sang anak hingga membatasi sang anak dari dunia luar. Hingga sang anak mulai beranjak dewasa dan mulai kritis terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Alur plot ceritanya lumayan. Seperti judulnya hanya terdiri 3 huruf, Movielitas menyukai gaya minimalis cerita, konflik dan pemainnya. Tidak perlu melebar kemana-mana. Gaya thriller-nya soft saja, tidak yang penuh emosional. Dari segi akting, chemistry antar duo aktris sebagai ibu-anak, Sarah Paulson-Kiera Allen, cukup bagus. Mungkin, versi Movielitas, film ini mengangkat realita yang kadang memang ada, dimana gaya didikan orang tua ada yang terlalu protektif dengan alasan kasih sayang. Di satu sisi baik, tapi di sisi lain, juga bisa "melumpuhkan" sang anak itu sendiri. Overall, ba

Tiger Wong versi layar lebar

Begitu Nicolas Tse menyebut nama karakternya ... Tiger Wong, baru semuanya jelas. Ternyata film ini merupakan adaptasi dari komik lawas yang fenomenal (setidaknya bagi jaman penulis Sekolah Dasar dulu) yang berjudul Tiger Wong. Alur ceritanya sendiri, kurang begitu menancap baik. Karena sibuk mencocokkan karakter yang ada di film dengan memori penulis tentang komik Tiger Wong. Dan, ternyata memang berbeda. Yang penulis kenal dari komik Tiger Wong, adalah petualangan duo Tiger Wong dan Gold Dragon. Disini ada karakter Dragon Wong (kakak dari Tiger Wong) yang di komik karakternya "terlewatkan" dan diceritakan telah meninggal. Lebih pas bila karakter Tiger Wong dibawakan Donnie, pendapat penulis. Karakter Tiger Wong disini minus jurus Sembilan Matahari. Gold Dragon. Disini justru bernama Turbo. Sama, menggunakan Nunchaku. Sama, andalan jurus Baju Besi Emas dengan simbol Lonceng Besi. Minus karakter Guy si Tapak Budha. Disini ada karakter 4 sahabat, namun

Asmara di dalam kelas yang terlarang

Drama dari Swedia. Temanya tentang hubungan asmara antara guru dan muridnya. Tema kontroversial seperti ini biasanya memiliki sisi membuat penasaran. Bagi penulis, hanya sebagian saja yang menarik. Terutama saat berfokus pada manisnya asmara guru dan murid. Masih malu-malu. Kemudian berkembang menjadi intim. Alur cerita menjadi tak menentu ketika plot asmara antara karakter guru, Viola, dan muridnya, Stig, perlahan mulai menghilang panasnya. Irama film tidak lagi berfokus pada dua karakter utama, melainkan mulai memasukkan porsi karakter lain yang kurang berpengaruh banyak. Karakter Stig bahkan bersahabat dengan suami gurunya. Stig juga secara tiba-tiba punya kekasih yang sebaya. Keseluruhan, menarik pada plot kisah asmara guru dan murid. Plot pengembangannya, kurang begitu menarik. All Things Fair (1995) - 6/10  

Mimpi besar si Rudy kecil

Film ini cocok ditonton kala kehilangan atau patah semangat. Meski klasik namun masih menarik disimak. Temanya sederhana. Nothing to something . From nobody to somebody . From zero to hero . Mirip dengan gaya film Invicible dengan Mark Walhberg. Meski mirip namun disini lebih terasa emosionalnya. Bila Vincent Papale di Invicible digambarkan zero to hero dengan bekal fisik yang memang mumpuni sebagai atlet khususnya american footballer . Tapi disini lebih merakyat, Rudy Ruettiger bukanlah siapa-siapa. Jauh dari kemungkinan. Jauh dari sempurna. Impossible . Rudy kecil memiliki cita-cita untuk bersekolah dan masuk ke tim football Notre Dame . Salah universitas yang memiliki tim football favorit di Amerika. Namun, kenyataan hampir tak berpihak pada Rudy kecil. Fisik Rudy jauh dari fisik atletis. Terlalu kecil. Begitu pula dengan keluarga Rudy yang seperti kurang mendukung impian Rudy.  Sejak kecil, Rudy ditanamkan prinsip " apa mana yang dapat dan tidak dapat Rudy la

Film Andy Lau ke 100

Berkisah tentang seorang petinju yang baru bebas dari penjara dan menemui dunia telah berubah banyak. Konsep ceritanya biasa saja. Grafik cerita pun standard seperti Hollywood. Susah- senang sebentar- jatuh cinta- salah paham- dramatisasi tarung. Pertarungan pun dibuat demikian, tarung-kalah hingga sekalah-kalahnya-dramatis. Keseluruhan, film ini hanya sebagai memori dengan sosok Andy Lau yang dulu menjadi idola penulis. Meski memang beberapa momen terasa kaku dan dapat ditebak, namun masih menghibur. A Fighter's Blues (2000) - 6/10

Gairah membara Cecile

!! 18++ !! Kesan pertama seusai menyimak film ini, wowww... !! Panas. Bukan untuk kalangan 25 tahun kebawah, kecuali boleh untuk remaja yang sudah menikah. Vulgarnya tergolong keras. Bukan hardcore namun tergolong berani . Sang aktris yang bermain panas disini adalah Deborah Revy yang porsi "panas gila"nya cukup besar. Plot ceritanya sendiri biasa. Tentang kehidupan seorang wanita yang berpetualang seks dari beberapa lelaki, entah apa tujuannya yang pasti wanita ini sangat menikmati setiap petualangan gilanya. Di tempat lain, dikisahkan tentang hubungan panas nan malu-malu ala Alice dan Matt. Yang menarik disini bukan film tentang dunia prostitusi melainkan tentang gairah murni yang timbul karena alami bukan karena materi seperti di dunia nyata. Keseluruhan, lumayan buat obat penambah gairah, untuk kalangan yang telah menikah mungkin bisa dijadikan referensi penambah kreativitas dalam keintiman. Deborah Revy, you're so hot !! Mengapa Q? Penulis ber

Jangan pernah mencuri

Wow....this is cool movie . Dan, Movielitas pun terkecoh. Awalnya mengira akan ada sajian horor (dunia lain) standard namun ternyata di luar dugaan. Tidak heran ketika menyaksikan hingga detik tamat cerita, ada nama Sam Riami di balik layar. Film ini "hanya" menampilkan kisah pencurian oleh dua pria dan satu wanita. Keputusan untuk merampok rumah sasaran adalah karena tidak ada "kehidupan" di sekitar rumah target dan sang pemilik rumah adalah "hanya" seorang lelaki tua dan buta yang tinggal bersama anjingnya. Yang terjadi berikutnya adalah ketegangan demi ketegangan. Dan disitulah poin menariknya. Film ini ternyata bernada seperti horor-thriller standard Hollywood yang umunya bermain simple. Karakter lelaki tua yang harusnya menjadi korban pencurian malah secara mengejutkan berubah menjadi poros teror. Keseluruhan, film ini berbeda. Meski alur ceritanya bisa dibilang sangat sangat sederhana sekali namun punya kesegaran dalam menampilkan

Cerita tentang film The Last Mohicans

Sajian klasik seeputar kisah pada jaman pra-modern. Mungkin karena faktor perbedaan jaman, film ini terasa kaku pada gaya battle -nya. Yang bisa Movielitas tangkap inti ceritanya adalah konflik antara Inggris Raya melawan Perancis yang terjadi di tanah Amerika. Konflik kerajaan tersebut disusupi oleh kepentingan balas dendam oleh suku Huron. Penampilan suku Huron ini mengingatkan penulis pada penampilan suku pedalaman di Apocalypto. Entah sama atau tidak, Movielitas juga kurang begitu memahami. Judul The Last Mohicans sendiri merujuk pada tiga orang suku Mohawk yang ikut terlibat di pertempuran antara Inggris dan Perancis, yang sejatinya lebih dikarenakan oleh kisah cinta pria-wanita lintas ras. Dari segi konflik, cukup bagus. Tidak datar dengan satu konflik saja. Hanya soal gaya battle yang sedikit kelihatan kaku. Ada satu yang memorable dari film ini yaitu theme song -nya yang easy listening dan megah. The Last Mohicans (1992) - 6/10

Jagoan gangster insaf

Ini merupakan salah satu film keren masa kuliah dulu. Maklum, jaman darah masih muda. Dan, penampilan Ekin Cheng kala itu juga terbilang keren. Memang, laga di sini tak memakai gaya kungfu atau komputerisasi melainkan gaya tarung gang jalanan, tapi justru disitu letak ke-keren-annya. Paling berkesan dari film ini selain gaya cool Ekin Cheng, juga momen solidaritas gangster. Salah satunya ketika karakter A Long (Ekin) menghajar dua pemuda, tak lama berselang muncul serangan balasan dari gangster sebelah. Tak perlu dikomando, puluhan orang bersenjata tongkat muncul di belakang A Long. Goodbye Mr.Cool (2001) - 6/10  

Obsesi memiliki cinta guru olahraga

Salah terka lagi. Awalnya penulis menebak film ini adalah film komedi romantis, ternyata lebih "kejam". Ya, karena film ini meski tentang cinta tapi genrenya ke teror psikologis. Disini penonton akan dilibatkan ke dalam psikologis bersalah seorang guru olahraga yang "bermain api" dengan siswi-nya. Baru kemudian, disajikan "horor" tentang obsesi gila seorang siswi yang berusaha memiliki cinta sang guru. Keseluruhan, konfliknya lumayan. Grafik alurnya ditata bagus. Bobot drama teror yang ditebarkan oleh Young-eun cukup baik dibawakan oleh aktris Jo Bo-ah dengan kolaborasi aktor Jang Hyuk. Innocent Thing (2014) - 6/10